1. TERAPI PSIKOANALISA
Psikoterapi adalah usaha penyembuhan untuk masalah yang berkaitan dengan pikiran, perasaan
dan perilaku. Psikoterapi (Psychotherapy) berasal dari dua kata, yaitu "Psyche" yang artinya
jiwa, pikiran atau mental dan "Therapy" yang artinya penyembuhan, pengobatan atau perawatan.
Oleh karena itu, psikoterapi disebut juga dengan istilah terapi kejiwaan, terapi mental, atau terapi
pikiran. Psikoterapi merupakan proses interaksi formal antara dua pihak atau lebih, yaitu antara
klien dengan psikoterapis yang bertujuan memperbaiki keadaan yang dikeluhkan klien.
Psikoterapi didasarkan pada fakta bahwa aspek-aspek mental manusia seperti cara berpikir,
proses emosi, persepsi, believe system, kebiasaan dan pola perilaku bisa diubah dengan
pendekatan psikologis. Tujuan psikoterapi antara lain ; Menghapus, mengubah atau mengurangi
gejala gangguan psikologis, mengatasi pola perilaku yang terganggu. meningkatkan
pertumbuhan dan perkembangan kepribadian yang positif, dll. Ada banyak metode psikoterapi
yang bisa diterapkan, salah satunya yang akan dibahas adalah Terapi Psychoanalysis.
Salah satu aliran utama dalam sejarah psikologi adalah teori psikoanalisis dari Sigmund Freud.
Sigmund Freud adalah orang yang menemukan pendekatan psikoanalisis yang memberikan
pandangan baru kepada psikologi. Psikoanalisis adalah sebuah model perkembangan
kepribadian, filsafat tentang sifat manusia dan metode psikoterapi. Teori psikoanalisis adalah
kehidupan mental individu menjadi bisa dipahami dan pemahaman terhadap sifat manusia bisa
diterapkan pada peredaan penderitaan manusia, tingkah laku diketahui sering ditentukan oleh
faktor-faktor tak sadar, perkembangan pada masa dini kanak-kanak memiliki pengaruh yang kuat
terhadap kepribadian di masa dewasa, dan menyediakan kerangka kerja yang berharga untuk
memahami cara-cara yang digunakan oleh individu dalam mengatasi kecemasan dengan
mengandaikan adanya mekanisme yang bekerja untuk menghindari luapan kecemasan, serta
pendekatan psikoanasis telah memberikan cara-cara mencari keterangan dari ketaksadaran
melalui analisis atas mimpi-mimpi, resistensi-resistensi dan transferensi-transferensi.
2. Proses Terapinya
Tujuan terapi psikoanalisis adalah membentuk kembali struktur karakter individual dengan jalan
membuat kesadaran yang tak disadari di dalam diri klien. Proses terapi difokuskan pada upaya
mengalami kembali pengalaman masa kanak-kanak. Pengalaman-pengalaman masa lampau
direkonstruksi, dibahas, dianalisis, dan ditafsirkan dengan sasaran merekonstruksi kepribadian.
Terapi psikoanalitik menekankan dimensi afektif dari upaya menjadikan ketaksadaran diketahui.
Pemahaman dan pengertian intelektual memiliki arti penting, tetapi perasaan-perasaan dan
ingatan-ingatan yang berkaitan dengan pemahaman diri lebih penting lagi.
Karakteristik psikoanalisis adalah terapis membiarkan dirinya anonim serta hanya berbagi sedikit
perasaan dan pengalaman sehingga klien memproyeksikan dirinya kepada terapis. Proyeksi-
proyeksi klien yang menjadi bahan terapi ditafsirkan dan dianalisis.
Terapis terutama berurusan dengan usaha membantu klien dalam mencapai kesadaran diri,
kejujuran, keefektifan dalam melakukan hubungan personal dalam menangani kecemasan secara
realistis serta dalam memperoleh kendali atas tingkah laku yang impulsif dan irasional. Terapis
terlebih dahulu harus membangun hubungan kerja dengan klien kemudian perlu banyak
mendengar dan menafsirkan. Terapis memberikan perhatian khusus pada penolakan-penolakan
klien. Sementara yang dilakukan oleh klien sebagian besar adalah berbicara yang dilakukan oleh
terapis adalah mendengarkan dan berusaha nuntuk mengetahui kapan dia harus membuat
penafsiran yang layak untuk mempercepat proses penyingkapan hal-hal yang tak disadari.
Terapis mendengarkan kesenjangan dan pertentangan pada cerita klien., mengartikan mimpi-
mimpi dan asosiasi bebas yang dilaporkan oleh klien dan mengamati klien secara cermat selama
pertemuan terapi berlangsung. Pengorganisasian proses terapeutik dalam konteks pemahaman
terhadap susunan kepribadian itu memungkinkan terapis bisa merumuskan sifat sesungguhnya
dari masalah-masalah klien.
Fungsi utama terapis adalah mengajarkan arti proses-proses ini kepada klien sehingga klien
mampu memperoleh pemahaman terhadap masalahnya sendiri, mengalami peningkatan
kesadaran atas cara-cara untuk berubah. Dengan demikian memperoleh kendali yang lebih
rasional atas kehidupannya sendiri.
Hubungan klien dengan terapis dikonseptualkan dalam proses transferensi yang menjadi inti
pendekatan psikoanalisis. Transferensi mendorong klien untuk mengalamatkan pada terapis
“urusan yang tak selesai” yang terdapat dalam hubungan klien di masa lampau dengan oranng
yang berpengaruh. Proses pemberian treatment mencakup rekonstruksi klien dan menghidupkan
kembali pengalaman-pengalaman masa lampaunya.
Konsep Utama
1. Id (das es, dorongan nafsu) adalah komponen biologis.
Merupakan prinsip kepuasan yaitu bersumber kebutuhan-kebutuhan yang dalam mencapai usaha
memuaskan kebutuhan itu akan bertindak secara tidak realistis, agresif dan primitif. Misalnya
bayi kalau lapar, haus atau sakit hanya bias menangis karena belum dapat mencari dan belum
dapat berusaha sendiri dia masih berhak dilayani kebutuhannya sedangkan pada anak dewasa
harus mencari dan usaha sendiri untuk memenuhi kebutuhannya.
2. Ego (das ich, prinsip realita) adalah komponen psikologis.
Merupakan prinsip realitas yang mengatur hubungan manusia dengan kenyataan. Ego menjadi
penengah yang memutuskan suatu tindakan sadar berdasarkan dorongan id dengan kenyataan
yang ada di luar dirinya dan berpedoman kepada super ego. Jadi ego bertindak sebagai pengatur
yaitu menyesuaikan pemuasan kebutuhan-kebutuhan dengan kenyataan sekelilingnya.
3. Super ego (das uber ich, hati nurani, moral) adalah komponen sosial.
Merupakan prinsip moral yang mengatur berdasarkan pedoman moral yang ada dan berlaku di
tempat itu. Pedoman moral ini berdasarkan kepada kebudayaan adat, hukum dan perkembangan
zaman. Super ego mula-mula dating dari orang tua setelah dewasa dari masyarakat dan
kebudayaan yang mengambil alih kedudukan orang tuanya dirumah.
Contoh nteraksi antara id, ego dan super ego :
Id : mendesak ego supaya cepat-cepat mengambil makanan itu karena dorongan rasa laparnya.
Super ego : mengingatkan dan melarang karena makanan itu bukan miliknya, mengambil barang
yang bukan miliknya adalah tidak baik atau berdosa
Ego : mulai mengatur diri. Kedudukannya menjadi sulit, ego didesak id (nafsu) untuk segera
memuaskan kebutuhannya (makan makanan itu) dengan cara apapun, sedangkan super ego
melarangnya untuk bertindak karena atas dasar moralnya.
3. teknik-teknik terapi
a. Hipnotis
Awal kemunculan hipnotis diperkirakan sekitar tahun 1700-an, ketika itu, seorang dokter Wina
bernama Franz Anton Mesmer memperlihatkan suatu teknik animal magnetism, tapi kemudian
berubah menjadi hipnotisme karena penekanan dari teknik tersebut dialihkan untuk
menimbulkan suatu keadaan kesadaran yang berubah melalui sugesti verbal. Pada abad ke-19,
Jean-Martin Charcot, seorang dokter Prancis yang hidup sekitar tahun 1825-1893 itu melihat
hipnotis sebagai cara untuk membantu orang-orang supaya menjadi santai. Pada tahun yang tidak
diketahui, di Paris, Charcot melakukan eksperimen dengan menggunakan hipnotis untuk
menangani hysteria, yaitu suatu kondisi di mana seseorang mengalami kelumpuhan atau mati
rasa yang tidak dapat dijelaskan oleh pelbagai macam penyebab fisik.
Pada saat demonstrasi eksperimen Charcot itu, terdapat seorang dokter muda asal Wina, yang
diketahui belakangan bernama Sigmund Freud. Freud berpikir waktu itu dan menyimpulkan
bahwa apapun faktor psikologis yang menyebabkan histeria, faktor-faktor itu pasti terletak di
luar area kesadaran. Dan pada saat itulah, Freud belajar dan menggunakan hipnotis untuk melihat
alam tak sadar manusia. Hanya beberapa tahun Freud akrab dengan hipnotis, dia
meninggalkannya karena dirasa hipnotis tidak efektif seperti metode-metode lainnya, dan sejak
kesadaran akan hal tersebut, Freud benar-benar tidak menggunakannya lagi. Walau demikian,
jejak rekamnya tentu saja sulit dilupakan orang. Sebagai seorang psikolog yang pernah
menggunakan metode hipnotis, orang akan sangat sulit melupakannya bahwa Freud pernah
menggunakan hipnotis pada awal kepraktikannya sebagai seorang psikiatri, walau Freud sendiri
sudah tidak pernah lagi menggunakannya.
Hipnotis? Adalah suatu prosedur yang menyebabkan sensasi, persepsi, pikiran, perasaan, atau
tingkah laku berubah karena disugesti. Huffman, dkk. (1997) seperti ditulis Semiun (h. 555)
mengidentifikasi individu yang dihipnotis, bahwa dia yang dihipnotis itu (1) perhatiannya
dipersempit dan terfokus, (2) menjadikannya sangat mudah menggunakan imajinasi dan pelbagai
halusinasi, (3) sikap individu itu menjadi pasif dan reseptif, (4) tanggapan terhadap rasa sakit
berkurang, dan (5) sangat mudah sekali disugesti, dengan kata lain, kesediannya untuk
mengadakan respon terhadap perubahan-perubahan persepsi meningkat.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia (2008), kita akan temukan bahwa hipnotis itu suatu perbuatan
yang membuat atau menyebabkan seseorang berada dalam keadaan hipnosis, yaitu keadaan
seperti tidur karena sugesti, yang dalam taraf permulaan orang itu berada di bawah pengaruh
orang yang memberikan sugestinya, tetapi pada taraf berikutnya menjadi tidak sadar sama sekali.
Dalam terapi psikoanalitik, hipnotis digunakan oleh Freud pada tahap awal kepraktikannya
bersama seorang neurolog Prancis kenamaan Jean Charcot dan dokter asal Wina Josef Breuer
saat menangani pasien yang mengidap histeria.
b. Asosiasi Bebas
Free Association, buku karangan Bollas (2002) yang kemudian dialihbahasakan ke dalam bahasa
Indonesia oleh Winarno (2003) menjadi Asosiasi Bebas merupakan acuan utama dalam
menjabarkan hal ihwal asosiasi bebasnya Freud. Dalam buku setebal seratus halaman tersebut,
asosiasi bebas secara sederhana didefinisikan sebagai bicara bebas, yaitu sesuatu yang tidak lebih
dari berbicara tentang apa yang terlintas dalam pikiran, beralih dari satu topik menuju topik lain
dalam suatu urutan yang bergerak bebas serta tidak mengikuti agenda tertentu.
Dan dalam sebuah kesempatan, salah satu pasien Freud, seperti dikutip Wade & Tavris (2008:
383) menyebut metode free association sebagai “penyembuhan dengan bicara”. Dijelaskan
kemudian, bahwa asosiasi bebas merupakan proses mengatakan apapun yang terlintas dalam
pikiran secara bebas, berkaitan dengan mimpi, fantasi, atau konflik tanpa memberikan komentar
apapun. Sedangkan Goble (1991: 137), menjelaskan asosiasi bebas sebagai suatu teknik di mana
pasien, dalam keadaan rileks, biasanya berbaring di atas dipan, berbicara tentang apa saja yang
melintas dalam pikirannya, tanpa terlalu banyak dipotong.
Senada dengan ketiga tokoh di atas, Nevid, dkk. (2009: 104) menerjemahkan asosiasi bebas
sebagai suatu metode [terapi psikoanalitik] untuk melakukan verbalisasi pikiran-pikiran yang
muncul pada saat itu tanpa usaha yang sadar untuk mengedit atau menyensornya.
Dari pelbagai pendapat di atas, dapat kita simpulkan bahwa, asosiasi bebas atau free association
adalah suatu metode terapi yang dirancang untuk memberikan kebebasan secara total kepada
pasien dalam mengungkapkan segala apa yang terlintas di benaknya, termasuk mimpi-mimpi,
pelbagai fantasi, dan hal-hal konflik dalam dirinya tanpa diagenda, dikomentari, ataupun banyak
dipotong, apalagi disensor.
Asosiasi bebas, sebagai suatu metode terapi, tentu saja memiliki tujuan. Salah satunya, adalah
apa yang disebutkan oleh Goble (1991: 137) sebagai berikut, “Teori yang mendasarinya [asosiasi
bebas] ialah bahwa lewat diskusi yang kelihatannya tanpa tujuan ini, dilengkapi dengan analisis
terhadap mimpi-mimpi pasien, maka pasien itu akan menjadi insaf tentang kejadian-kejadian di
masa lalunya yang telah menyebabkan atau tengah menjadi sebab bagi kesulitannya [sekarang].”
Sebagai contoh, sebagaimana dikutip dari Goble (1991: 138), adalah “seorang mahasiswi suatu
kolose meminta nasihat mengenai suatu masalah. Sejam kemudian, sesudah puas [d]ia berbicara,
sementara selama itu sang terapisnya sendiri tidak mengatakan sepatah kata pun, [d]ia telah
memecahkan masalahnya secara memuaskan dan berterima kasih sedalam-dalamnya kepada
sang terapis atas jasa-jasa keahliannya.”
Dengan demikian, asosiasi bebas menunjukkan kesanggupannya untuk dapat dikatakan sebagai
suatu metode terapi. Bahkan Maslow pernah mewawancarai 34 orang yang baru menjalani
pelbagai terapi (salah satunya yang paling dominan adalah asosiasi bebas) dalam suatu tahun
terakhir. “Dua puluh empat di antaranya melaporkan bahwa mereka sangat puas dengan bantuan
yang telah mereka terima dan bahwa bantuan tersebut sungguh-sungguh menolong mereka.”
Maslow sendiri, rupa-rupanya, walau tidak termasuk ke dalam neofreudian, telah mempraktikan
asosiasi bebas dalam praktiknya sebagai psikolog.
c. Analisis Mimpi
Mimpi, dipercaya Freud sebagai “jalan yang sangat baik menuju ketaksadaran”. Hal tersebut
didasari kepercayaan Freud bahwa mimpi itu perwujudan dari materi atau isi yang tidak disadari,
yang memasuki kesadaran lewat yang tersamar. Dalam hal ini, mimpi mengandung muatan
manifes atau manifest content dan content latent atau muatan laten. Yang disebut pertama
merupakan materi mimpi yang dialami dan dilaporkan. Sedangkan yang disebut kemudian, ialah
materi bawah sadar yang disimbolisasikan atau diwakili oleh mimpi.
Sebagai contoh, Tedi bermimpi terbang menaiki Garuda Indonesia. “Terbang” adalah muatan
yang tampak atau muatan manifes dari mimpi. Freud percaya bahwa “terbang” merupakan
simbol dari ereksi, jadi mungkin muatan laten dari mimpi merefleksikan isi bawah sadar yang
berkaitan dengan ketakutan akan impotensi.
Analisis mimpi, sebenarnya lebih dapat dipahami sebagai suatu bentuk asosiasi bebas, tapi dalam
konsep Freud, mimpi merupakan suatu bentuk kegiatan mental yang sangat terorganisasi
sehingga patut diperhatikan secara khusus. Bukunya yang terbit tahun 1900, yaitu The
Interpretation of Dream menjadi bukti konkret akan bentuk perhatian khusus itu.
d. Transferensi
Dalam psikoanalitik Freud, transferensi berarti proses pemindahan emosi-emosi yang terpendam
atau ditekan sejak awal masa kanak-kanak oleh pasien kepada terapis. Transferensi dinilai
sebagai alat yang sangat berharga bagi terapis untuk menyelidiki ketaksadaran pasien karena alat
ini mendorong pasien untuk menghidupkan kembali pelbagai pengalaman emosional dari tahun-
tahun awal kehidupannya.
Transferensi pada tahap yang paling kritis berefek abreaksi (pelepasan tegangan emosional) pada
pasien. Efek lain yang mungkin, ada dua, yaitu positif dan negatif. Positif: saat pasien secara
terbuka mentransferkan perasaan-perasaannya sehingga menyebabkan kelekatan,
ketergantungan, bahkan cinta kepada terapis. Negatif: tatkala kebencian, ketidaksabaran, dan
kadang-kadang perlawanan yang keras terhadap terapis. Dan ini dapat berefek fatal terhadap
proses terapi.
e. Penafsiran
Penafsiran itu sendiri adalah penjelasan dari psikoanalis tentang makna dari asosiasi-asosiasi,
pelbagai mimpi, dan transferensi dari pasien. Sederhananya, yaitu setiap pernyataan dari terapis
yang menafsirkan masalah pasien dalam suatu cara yang baru. Penafsiran oleh analis harus
memperhatikan waktu. Dia harus dapat memilah atau memprediksi kapan waktu yang baik dan
tepat untuk membicarakan penafsirannya kepada pasien.
Karena penafsiran merupakan masalah yang begitu kritis, analis harus benar-benar menyadari
mekanisme-mekanisme dan pelbagai dorongan untuk mempertahankan dirinya sebab kalau tidak
dia akan jatuh ke dalam perangkap penafsiran terhadap pelbagai perasaan dan pikiran dinamik
pasien menurut sederet pengalaman dan masalah hidup analis sendiri. Inilah alasannya mengapa
psikoanalis harus menjalani analisis diri pribadi.
Sumber: http://kesehatan.kompasiana.com/kejiwaan/2010/12/27/terapi-psikoanalitik-
328149.html
Gerald Corey. 2005. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung : PT.
Refika Aditama.
Siti Sundari. 1981. Ilmu Kesehatan Mental. Yogyakarta : Swadaya.
http://www.psikoterapis.com/?en_apa-itu-psikoterapi-%2C6
http://rumahbelajarpsikologi.com/index.php/psikoanalisis-mainmenu-57
Tidak ada komentar:
Posting Komentar