Jumat, 25 Maret 2016

1. TERAPI PSIKOANALISA

Psikoterapi adalah usaha penyembuhan untuk masalah yang berkaitan dengan pikiran, perasaan

dan perilaku. Psikoterapi (Psychotherapy) berasal dari dua kata, yaitu "Psyche" yang artinya

jiwa, pikiran atau mental dan "Therapy" yang artinya penyembuhan, pengobatan atau perawatan.

Oleh karena itu, psikoterapi disebut juga dengan istilah terapi kejiwaan, terapi mental, atau terapi

pikiran. Psikoterapi merupakan proses interaksi formal antara dua pihak atau lebih, yaitu antara

klien dengan psikoterapis yang bertujuan memperbaiki keadaan yang dikeluhkan klien.

Psikoterapi didasarkan pada fakta bahwa aspek-aspek mental manusia seperti cara berpikir,

proses emosi, persepsi, believe system, kebiasaan dan pola perilaku bisa diubah dengan

pendekatan psikologis. Tujuan psikoterapi antara lain ; Menghapus, mengubah atau mengurangi

gejala gangguan psikologis, mengatasi pola perilaku yang terganggu. meningkatkan

pertumbuhan dan perkembangan kepribadian yang positif, dll. Ada banyak metode psikoterapi

yang bisa diterapkan, salah satunya yang akan dibahas adalah Terapi Psychoanalysis.

Salah satu aliran utama dalam sejarah psikologi adalah teori psikoanalisis dari Sigmund Freud.

Sigmund Freud adalah orang yang menemukan pendekatan psikoanalisis yang memberikan

pandangan baru kepada psikologi. Psikoanalisis adalah sebuah model perkembangan

kepribadian, filsafat tentang sifat manusia dan metode psikoterapi. Teori psikoanalisis adalah

kehidupan mental individu menjadi bisa dipahami dan pemahaman terhadap sifat manusia bisa

diterapkan pada peredaan penderitaan manusia, tingkah laku diketahui sering ditentukan oleh

faktor-faktor tak sadar, perkembangan pada masa dini kanak-kanak memiliki pengaruh yang kuat

terhadap kepribadian di masa dewasa, dan menyediakan kerangka kerja yang berharga untuk

memahami cara-cara yang digunakan oleh individu dalam mengatasi kecemasan dengan

mengandaikan adanya mekanisme yang bekerja untuk menghindari luapan kecemasan, serta

pendekatan psikoanasis telah memberikan cara-cara mencari keterangan dari ketaksadaran

melalui analisis atas mimpi-mimpi, resistensi-resistensi dan transferensi-transferensi.

2. Proses Terapinya

Tujuan terapi psikoanalisis adalah membentuk kembali struktur karakter individual dengan jalan

membuat kesadaran yang tak disadari di dalam diri klien. Proses terapi difokuskan pada upaya

mengalami kembali pengalaman masa kanak-kanak. Pengalaman-pengalaman masa lampau

direkonstruksi, dibahas, dianalisis, dan ditafsirkan dengan sasaran merekonstruksi kepribadian.

Terapi psikoanalitik menekankan dimensi afektif dari upaya menjadikan ketaksadaran diketahui.

Pemahaman dan pengertian intelektual memiliki arti penting, tetapi perasaan-perasaan dan

ingatan-ingatan yang berkaitan dengan pemahaman diri lebih penting lagi.

Karakteristik psikoanalisis adalah terapis membiarkan dirinya anonim serta hanya berbagi sedikit

perasaan dan pengalaman sehingga klien memproyeksikan dirinya kepada terapis. Proyeksi-

proyeksi klien yang menjadi bahan terapi ditafsirkan dan dianalisis.

Terapis terutama berurusan dengan usaha membantu klien dalam mencapai kesadaran diri,

kejujuran, keefektifan dalam melakukan hubungan personal dalam menangani kecemasan secara

realistis serta dalam memperoleh kendali atas tingkah laku yang impulsif dan irasional. Terapis

terlebih dahulu harus membangun hubungan kerja dengan klien kemudian perlu banyak

mendengar dan menafsirkan. Terapis memberikan perhatian khusus pada penolakan-penolakan

klien. Sementara yang dilakukan oleh klien sebagian besar adalah berbicara yang dilakukan oleh

terapis adalah mendengarkan dan berusaha nuntuk mengetahui kapan dia harus membuat

penafsiran yang layak untuk mempercepat proses penyingkapan hal-hal yang tak disadari.

Terapis mendengarkan kesenjangan dan pertentangan pada cerita klien., mengartikan mimpi-

mimpi dan asosiasi bebas yang dilaporkan oleh klien dan mengamati klien secara cermat selama

pertemuan terapi berlangsung. Pengorganisasian proses terapeutik dalam konteks pemahaman

terhadap susunan kepribadian itu memungkinkan terapis bisa merumuskan sifat sesungguhnya

dari masalah-masalah klien.

Fungsi utama terapis adalah mengajarkan arti proses-proses ini kepada klien sehingga klien

mampu memperoleh pemahaman terhadap masalahnya sendiri, mengalami peningkatan

kesadaran atas cara-cara untuk berubah. Dengan demikian memperoleh kendali yang lebih

rasional atas kehidupannya sendiri.

Hubungan klien dengan terapis dikonseptualkan dalam proses transferensi yang menjadi inti

pendekatan psikoanalisis. Transferensi mendorong klien untuk mengalamatkan pada terapis

“urusan yang tak selesai” yang terdapat dalam hubungan klien di masa lampau dengan oranng

yang berpengaruh. Proses pemberian treatment mencakup rekonstruksi klien dan menghidupkan

kembali pengalaman-pengalaman masa lampaunya.

Konsep Utama

1. Id (das es, dorongan nafsu) adalah komponen biologis.

Merupakan prinsip kepuasan yaitu bersumber kebutuhan-kebutuhan yang dalam mencapai usaha

memuaskan kebutuhan itu akan bertindak secara tidak realistis, agresif dan primitif. Misalnya

bayi kalau lapar, haus atau sakit hanya bias menangis karena belum dapat mencari dan belum

dapat berusaha sendiri dia masih berhak dilayani kebutuhannya sedangkan pada anak dewasa

harus mencari dan usaha sendiri untuk memenuhi kebutuhannya.

2. Ego (das ich, prinsip realita) adalah komponen psikologis.

Merupakan prinsip realitas yang mengatur hubungan manusia dengan kenyataan. Ego menjadi

penengah yang memutuskan suatu tindakan sadar berdasarkan dorongan id dengan kenyataan

yang ada di luar dirinya dan berpedoman kepada super ego. Jadi ego bertindak sebagai pengatur

yaitu menyesuaikan pemuasan kebutuhan-kebutuhan dengan kenyataan sekelilingnya.

3. Super ego (das uber ich, hati nurani, moral) adalah komponen sosial.

Merupakan prinsip moral yang mengatur berdasarkan pedoman moral yang ada dan berlaku di

tempat itu. Pedoman moral ini berdasarkan kepada kebudayaan adat, hukum dan perkembangan

zaman. Super ego mula-mula dating dari orang tua setelah dewasa dari masyarakat dan

kebudayaan yang mengambil alih kedudukan orang tuanya dirumah.

Contoh nteraksi antara id, ego dan super ego :

Id : mendesak ego supaya cepat-cepat mengambil makanan itu karena dorongan rasa laparnya.

Super ego : mengingatkan dan melarang karena makanan itu bukan miliknya, mengambil barang

yang bukan miliknya adalah tidak baik atau berdosa

Ego : mulai mengatur diri. Kedudukannya menjadi sulit, ego didesak id (nafsu) untuk segera

memuaskan kebutuhannya (makan makanan itu) dengan cara apapun, sedangkan super ego

melarangnya untuk bertindak karena atas dasar moralnya.

3.   teknik-teknik terapi

a. Hipnotis

Awal kemunculan hipnotis diperkirakan sekitar tahun 1700-an, ketika itu, seorang dokter Wina

bernama Franz Anton Mesmer memperlihatkan suatu teknik animal magnetism, tapi kemudian

berubah menjadi hipnotisme karena penekanan dari teknik tersebut dialihkan untuk

menimbulkan suatu keadaan kesadaran yang berubah melalui sugesti verbal. Pada abad ke-19,

Jean-Martin Charcot, seorang dokter Prancis yang hidup sekitar tahun 1825-1893 itu melihat

hipnotis sebagai cara untuk membantu orang-orang supaya menjadi santai. Pada tahun yang tidak

diketahui, di Paris, Charcot melakukan eksperimen dengan menggunakan hipnotis untuk

menangani hysteria, yaitu suatu kondisi di mana seseorang mengalami kelumpuhan atau mati

rasa yang tidak dapat dijelaskan oleh pelbagai macam penyebab fisik.

Pada saat demonstrasi eksperimen Charcot itu, terdapat seorang dokter muda asal Wina, yang

diketahui belakangan bernama Sigmund Freud. Freud berpikir waktu itu dan menyimpulkan

bahwa apapun faktor psikologis yang menyebabkan histeria, faktor-faktor itu pasti terletak di

luar area kesadaran. Dan pada saat itulah, Freud belajar dan menggunakan hipnotis untuk melihat

alam tak sadar manusia. Hanya beberapa tahun Freud akrab dengan hipnotis, dia

meninggalkannya karena dirasa hipnotis tidak efektif seperti metode-metode lainnya, dan sejak

kesadaran akan hal tersebut, Freud benar-benar tidak menggunakannya lagi. Walau demikian,

jejak rekamnya tentu saja sulit dilupakan orang. Sebagai seorang psikolog yang pernah

menggunakan metode hipnotis, orang akan sangat sulit melupakannya bahwa Freud pernah

menggunakan hipnotis pada awal kepraktikannya sebagai seorang psikiatri, walau Freud sendiri

sudah tidak pernah lagi menggunakannya.

Hipnotis? Adalah suatu prosedur yang menyebabkan sensasi, persepsi, pikiran, perasaan, atau

tingkah laku berubah karena disugesti. Huffman, dkk. (1997) seperti ditulis Semiun (h. 555)

mengidentifikasi individu yang dihipnotis, bahwa dia yang dihipnotis itu (1) perhatiannya

dipersempit dan terfokus, (2) menjadikannya sangat mudah menggunakan imajinasi dan pelbagai

halusinasi, (3) sikap individu itu menjadi pasif dan reseptif, (4) tanggapan terhadap rasa sakit

berkurang, dan (5) sangat mudah sekali disugesti, dengan kata lain, kesediannya untuk

mengadakan respon terhadap perubahan-perubahan persepsi meningkat.

Dalam Kamus Bahasa Indonesia (2008), kita akan temukan bahwa hipnotis itu suatu perbuatan

yang membuat atau menyebabkan seseorang berada dalam keadaan hipnosis, yaitu keadaan

seperti tidur karena sugesti, yang dalam taraf permulaan orang itu berada di bawah pengaruh

orang yang memberikan sugestinya, tetapi pada taraf berikutnya menjadi tidak sadar sama sekali.

Dalam terapi psikoanalitik, hipnotis digunakan oleh Freud pada tahap awal kepraktikannya

bersama seorang neurolog Prancis kenamaan Jean Charcot dan dokter asal Wina Josef Breuer

saat menangani pasien yang mengidap histeria.

b. Asosiasi Bebas

Free Association, buku karangan Bollas (2002) yang kemudian dialihbahasakan ke dalam bahasa

Indonesia oleh Winarno (2003) menjadi Asosiasi Bebas merupakan acuan utama dalam

menjabarkan hal ihwal asosiasi bebasnya Freud. Dalam buku setebal seratus halaman tersebut,

asosiasi bebas secara sederhana didefinisikan sebagai bicara bebas, yaitu sesuatu yang tidak lebih

dari berbicara tentang apa yang terlintas dalam pikiran, beralih dari satu topik menuju topik lain

dalam suatu urutan yang bergerak bebas serta tidak mengikuti agenda tertentu.

Dan dalam sebuah kesempatan, salah satu pasien Freud, seperti dikutip Wade & Tavris (2008:

383) menyebut metode free association sebagai “penyembuhan dengan bicara”. Dijelaskan

kemudian, bahwa asosiasi bebas merupakan proses mengatakan apapun yang terlintas dalam

pikiran secara bebas, berkaitan dengan mimpi, fantasi, atau konflik tanpa memberikan komentar

apapun. Sedangkan Goble (1991: 137), menjelaskan asosiasi bebas sebagai suatu teknik di mana

pasien, dalam keadaan rileks, biasanya berbaring di atas dipan, berbicara tentang apa saja yang

melintas dalam pikirannya, tanpa terlalu banyak dipotong.

Senada dengan ketiga tokoh di atas, Nevid, dkk. (2009: 104) menerjemahkan asosiasi bebas

sebagai suatu metode [terapi psikoanalitik] untuk melakukan verbalisasi pikiran-pikiran yang

muncul pada saat itu tanpa usaha yang sadar untuk mengedit atau menyensornya.

Dari pelbagai pendapat di atas, dapat kita simpulkan bahwa, asosiasi bebas atau free association

adalah suatu metode terapi yang dirancang untuk memberikan kebebasan secara total kepada

pasien dalam mengungkapkan segala apa yang terlintas di benaknya, termasuk mimpi-mimpi,

pelbagai fantasi, dan hal-hal konflik dalam dirinya tanpa diagenda, dikomentari, ataupun banyak

dipotong, apalagi disensor.

Asosiasi bebas, sebagai suatu metode terapi, tentu saja memiliki tujuan. Salah satunya, adalah

apa yang disebutkan oleh Goble (1991: 137) sebagai berikut, “Teori yang mendasarinya [asosiasi

bebas] ialah bahwa lewat diskusi yang kelihatannya tanpa tujuan ini, dilengkapi dengan analisis

terhadap mimpi-mimpi pasien, maka pasien itu akan menjadi insaf tentang kejadian-kejadian di

masa lalunya yang telah menyebabkan atau tengah menjadi sebab bagi kesulitannya [sekarang].”

Sebagai contoh, sebagaimana dikutip dari Goble (1991: 138), adalah “seorang mahasiswi suatu

kolose meminta nasihat mengenai suatu masalah. Sejam kemudian, sesudah puas [d]ia berbicara,

sementara selama itu sang terapisnya sendiri tidak mengatakan sepatah kata pun, [d]ia telah

memecahkan masalahnya secara memuaskan dan berterima kasih sedalam-dalamnya kepada

sang terapis atas jasa-jasa keahliannya.”

Dengan demikian, asosiasi bebas menunjukkan kesanggupannya untuk dapat dikatakan sebagai

suatu metode terapi. Bahkan Maslow pernah mewawancarai 34 orang yang baru menjalani

pelbagai terapi (salah satunya yang paling dominan adalah asosiasi bebas) dalam suatu tahun

terakhir. “Dua puluh empat di antaranya melaporkan bahwa mereka sangat puas dengan bantuan

yang telah mereka terima dan bahwa bantuan tersebut sungguh-sungguh menolong mereka.”

Maslow sendiri, rupa-rupanya, walau tidak termasuk ke dalam neofreudian, telah mempraktikan

asosiasi bebas dalam praktiknya sebagai psikolog.

c. Analisis Mimpi

Mimpi, dipercaya Freud sebagai “jalan yang sangat baik menuju ketaksadaran”. Hal tersebut

didasari kepercayaan Freud bahwa mimpi itu perwujudan dari materi atau isi yang tidak disadari,

yang memasuki kesadaran lewat yang tersamar. Dalam hal ini, mimpi mengandung muatan

manifes atau manifest content dan content latent atau muatan laten. Yang disebut pertama

merupakan materi mimpi yang dialami dan dilaporkan. Sedangkan yang disebut kemudian, ialah

materi bawah sadar yang disimbolisasikan atau diwakili oleh mimpi.

Sebagai contoh, Tedi bermimpi terbang menaiki Garuda Indonesia. “Terbang” adalah muatan

yang tampak atau muatan manifes dari mimpi. Freud percaya bahwa “terbang” merupakan

simbol dari ereksi, jadi mungkin muatan laten dari mimpi merefleksikan isi bawah sadar yang

berkaitan dengan ketakutan akan impotensi.

Analisis mimpi, sebenarnya lebih dapat dipahami sebagai suatu bentuk asosiasi bebas, tapi dalam

konsep Freud, mimpi merupakan suatu bentuk kegiatan mental yang sangat terorganisasi

sehingga patut diperhatikan secara khusus. Bukunya yang terbit tahun 1900, yaitu The

Interpretation of Dream menjadi bukti konkret akan bentuk perhatian khusus itu.

d. Transferensi

Dalam psikoanalitik Freud, transferensi berarti proses pemindahan emosi-emosi yang terpendam

atau ditekan sejak awal masa kanak-kanak oleh pasien kepada terapis. Transferensi dinilai

sebagai alat yang sangat berharga bagi terapis untuk menyelidiki ketaksadaran pasien karena alat

ini mendorong pasien untuk menghidupkan kembali pelbagai pengalaman emosional dari tahun-

tahun awal kehidupannya.

Transferensi pada tahap yang paling kritis berefek abreaksi (pelepasan tegangan emosional) pada

pasien. Efek lain yang mungkin, ada dua, yaitu positif dan negatif. Positif: saat pasien secara

terbuka mentransferkan perasaan-perasaannya sehingga menyebabkan kelekatan,

ketergantungan, bahkan cinta kepada terapis. Negatif: tatkala kebencian, ketidaksabaran, dan

kadang-kadang perlawanan yang keras terhadap terapis. Dan ini dapat berefek fatal terhadap

proses terapi.

e. Penafsiran

Penafsiran itu sendiri adalah penjelasan dari psikoanalis tentang makna dari asosiasi-asosiasi,

pelbagai mimpi, dan transferensi dari pasien. Sederhananya, yaitu setiap pernyataan dari terapis

yang menafsirkan masalah pasien dalam suatu cara yang baru. Penafsiran oleh analis harus

memperhatikan waktu. Dia harus dapat memilah atau memprediksi kapan waktu yang baik dan

tepat untuk membicarakan penafsirannya kepada pasien.

Karena penafsiran merupakan masalah yang begitu kritis, analis harus benar-benar menyadari

mekanisme-mekanisme dan pelbagai dorongan untuk mempertahankan dirinya sebab kalau tidak

dia akan jatuh ke dalam perangkap penafsiran terhadap pelbagai perasaan dan pikiran dinamik

pasien menurut sederet pengalaman dan masalah hidup analis sendiri. Inilah alasannya mengapa

psikoanalis harus menjalani analisis diri pribadi.

Sumber: http://kesehatan.kompasiana.com/kejiwaan/2010/12/27/terapi-psikoanalitik-

328149.html

Gerald Corey. 2005. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung : PT.

Refika Aditama.

Siti Sundari. 1981. Ilmu Kesehatan Mental. Yogyakarta : Swadaya.

http://www.psikoterapis.com/?en_apa-itu-psikoterapi-%2C6

http://rumahbelajarpsikologi.com/index.php/psikoanalisis-mainmenu-57

Kenapa orang baik?

Kenapa orang baik sering tersakiti? Karena org baik akan selalu mendahulukan org lain, meskipun kebahagiaan ada ditanganya. Dia gamau menik...