Konsep
Teori Belajar Humanistik
Teori belajar yang
humanistik pada dasarnya memiliki tujuan belajar untuk memanusikan manusia.
Oleh karena itu proses belajar dapat dianggap berhasil apabila si
pembelajar telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Dengan kata lain,
si pembelajar dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu
mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Tujuan utama para pendidik
adalah membantu siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing
individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan
membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka (Sukardjo
dan Komarudin, 2009: 56).
Senada dengan pendapat
di atas, belajar adalah pentingnya isi dari proses belajar bersifat elektrik,
tujuannya adalah memanusiakan manusia atau mencapai aktualisasi diri. Aplikasi
teori humanistik dalam pembelajaran guru lebih mengarahkan siswa untuk berfikir
induktif, mementingkan pengalaman, dan membutuhkan keterlibatan siswa secara
aktif dalam proses belajar. Hal ini dapat diterapkan melalui kegiatan diskusi,
membahas materi secara berkelompok sehingga siswa dapat mengemukakan
pendapatnya masing-masing didepan kelas. Guru memberi kesempatan kepada siswa
untuk bertanya apabila kurang mengerti terhadap materi yang diajarkan.
Pembelajaran berdasarkan teori humanistik yang bersifat pembentukan kepribadian,
hati nurani, perubahan sikap dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator
dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah,
berinisiatif dalam belajar dan terjadi pola perubahan pola pikir, perilaku dan
sikap atas kemauan sendiri (Herpratiwi, 2009: 39).
Awal timbulnya
psikologi humanistis terjadi pada akhir tahun 1940-an yaitu munculnya suatu
perspektif psikologi baru. Orang-orang yang terlibat dalam penerapan
psikologilah yang berjasa dalam pengembangan ini. Misalnya; ahli-ahli psikologi
klinik, pekerja-pekerja sosial, konselor, bukan merupakan hasil penelitian
dalam bidang proses belajar. Gerakan ini berkembang dan kemudian dikenalkan
dengan psikologi humanistis, eksternal, perseptual atau fenomenologikal.
Psikologi ini berusaha memahami perilaku seseorang dari sudut perilaku
(behavior), bukan dari pengamat observer. Dalam dunia pendidikan aliran
humanisme muncul pada tahun 1960 sampai dengan 1970-an dan mungkin
perubahan-perubahan dan inovasi yang terjadi selama dua dekade yang terakhir
pada abad ke-20 ini pun juga akan menuju pada arah ini (Herpratiwi, 2009: 37).
Perhatian psikologi
humanistik terutama tertuju pada masalah bagaimana tiap-tiap individu
dipengaruhi dan dibimbing oleh maksud-maksud pribadi yang mereka hubungkan kepada
pengalaman-pengalaman mereka sendiri. Menurut para pendidik aliran humanistis
penyusunan dan penyajian materi pelajaran harus sesuai dengan perasaan dan
perhatian siswa. Gerakan munculnya psikologi humanistik disebabkan oleh semacam
kesadaran bersama beranggapan bahwa pada dasarnya tidak ada teori psikologi
yang berkemampuan menjelaskan manusia sebagai suatu totalitas dan yang
sewajarnya mengfungsikan manusia. Mereka meyakini bahwa tiap individu pada
dasarnya mempunyai kapasitas serta dorongan sendiri untuk mengembangkan potensi
kemanusiaannya (Herpratiwi, 2009: 37).
Menurut aliran
humanistik, para pendidik sebaiknya melihat kebutuhan yang lebih tinggi dan
merencanakan pendidikan dan kurikulum untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini.
Beberapa psikolog humanistik melihat bahwa manusia mempunyai keinginan alami
untuk berkembang untuk menjadi lebih baik dan juga belajar (Sukarjo dan
Komarudin, 2009: 56). Teori humanisme berfokus pada sikap dari kondisi manusia
yang mencakup kesanggupan untuk menyadari diri, bebas memilih untuk menentukan
nasib sendiri, kebebasan dan bertanggung jawab, kecemasan sebagai suatu unsur
dasar pencarian.
Maka yang unik didalam
dunia yang tidak bermakna, berada sendirian dan berada dalam hubungan dengan
orang lain keterhinggaan, kematian, dan kecenderungan mengaktualisasikan diri.
Perkembangan pribadi yang muncul berdasarkan keunikan masing-masing individu.
Teori ini berfokus pada saat sekarang dan menjadi apa seorang itu dimasa depan.
Pendekatan ini menyajikan kondisi untuk memaksimalkan kesadaran diri dan
perkembangan. Menghapus penghambat aktualisasi potensi pribadi. Membantu siswa
menemukan dan menggunakan kebebasan memilih dengan memperluas kesadaran diri
dan bertanggung jawab atas arah kehidupanya sendiri (Herpratiwi, 2009: 38).
Senada dengan pendapat
di atas, konsep pendekatan humanistik dalam pendidikan menekankan pada
perkembangan positif. Pendekatan yang berfokus pada potensi manusia untuk
mencari dan menemukan kemampuan yang mereka punya dan mengembangkan kemampuan
tersebut. Hal ini mencakup kemampuan interpersonal sosial dan metode untuk
pengembangan diri yang ditujukan untuk memperkaya diri, menikmati keberadaan
hidup dan juga masyarakat. Keterampilan atau kemampuan membangun diri secara
positif ini menjadi sangat penting dalam pendidikan karena keterkaitannya
dengan keberhasilan akademik (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 57).
Keleluasaan untuk
memilih apa yang akan dipelajari dan kapan serta bagaimana mereka akan
mempelajarinya merupakan ciri utama pendekatan humanisme. Bertujuan untuk
membantu siswa menjadi self-directed serta self-motivated
leaner.Penganut paham ini yakin bahwa siswa akan bersedia melakukan banyak
hal apabila mereka memiliki motivasi yang tinggi dan mereka diberi
kesempatan untuk menentukan apa yang mereka inginkan dan mereka hindari
pemberian nilai dan tes standar atau evaluasi formal lainnya. Pengertian
humanisme yang beragam membuat batasan-batasan aplikasinya dalam dunia
pendidikan mengundang berbagai macam arti pula. Kata humanisme dalam
pendidikan, dalam artikel “what is humanistic education?”, Krischenbaum
menyatakan bahwa sekolah, kelas, atau guru dapat dikatakan bersifat humanistik
dalam pendidikan. Ide mengenai pendekatan-pendekatan ini terangkum dalam
psikologi humanisme (Herpratiwi, 2009: 38).
Beberapa ciri khas yang dominan dalam psikologi
humanisme sebagai berikut.
a. Mereka menekankan bahwa
psikologi seharusnya memperlakukan “keseluruhan kepribadian manusia” meliputi
seluruh aspek-aspeknya.
b. Mereka menekankan kepada
aktivitas dari sudut pandang personnya dari sudut pandang “peninjau”
(observer). Pengikut psikologi humanisme menyatakan bahwa dalam melihat manusia
sebagian besar ahli-ahli psikologi mengambil sudut pandang orang ketiga,
sedangkan cara yang paling nyata untuk mempelajari psikologi ialah melalui
“mata person” yaitu dirinya sendiri.
c. Mereka juga menekankan
kepada “self-actualization”, “self-fulfillment” atau “self-realization”.
d. Mengenai perkembangan pribadi
seseorang dalam arah apapun, orang tersebut selalu memilih atau menilai
(Herpratiwi, 2009: 40).
Nilai-nilai penting yang ditumbuhkembangkan dalam
pendidikan humanisme sebagai berikut.
1. Kejujuran (tidak
menyontek, tidak merusak, dan bisa dipercaya).
2. Menghargai hak orang lain
(menerima dan menghormati perbedaan individu yang ada, mau mendengarkan orang
lain, menolong orang lain, dan bisa berempati terhadap problem orang lain).
3. Menjaga lingkungan
(menghemat penggunaan listrik, gas, kayu, logam, kertas, dll. Menjaga barang
milik sendiri ataupun milik orang lain).
4. Perilaku (mau berbagi,
menolong orang lain, ramah terhadap orang lain, dan berlaku pantas didepan
publik).
5. Perkembangan pribadi
(menjalankan tanggung jawab, menghargai kesehatan dan kebersihan fisik,
mengembangkan bakat yang dimiliki secara optimal, mengembangkan rasa hormat dan
rasa bangga terhadap diri sendiri, mengontrol perilaku, memiliki sikap berani,
terhormat dan patriotik, serta menghargai keindahan) (Herpratiwi, 2009: 41).
Humanistik lebih
melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia daripada berfokus kepada
“ketidak normalan” atau “sakit” seperti dilihat oleh teori psikoanalisa freud.
Pendekatan ini melihat kejadian setelah “sakit” tersebut sembuh, yaitu
bagaimana manusia membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif.
Kemampuan bertindak positif ini disebut sebagai potensi manusia dan para
pendidik yang beraliran humanisme biasanya memfokuskan pembelajarannya pada
pembangunan kemampuan positif ini (Herpratiwi, 2009: 42).
Kemampuan positif
disini erat kaitanya dengan pengembangan emosi positif yang terdapat dalam
dominan efektif, misalnya keterampilan membangun dan menjaga relasi yang hangat
dengan orang lain, bagaimana mengajarkan kepercayaan, penerimaan, kesadaran,
memahami perasaan orang lain, kejujuran interpersonal, dan pengetahuan
interpersonal lainnya. Intinya adalah meningkatkan kualitas keterampilan
interpersonal dalam kehidupan sehari-hari. Selain menitik beratkan pada
hubungan interpersonal, para pendidiknya yang beraliran humanisme juga mencoba
untuk membuat pembelajaran yang membantu anak didik untuk meningkatkan kemampuan
dalam membuat, berimajinasi, mempunyai pengalaman, berintuisi, merasakan, dan
berfantasi. Pendidik humanisme mencoba untuk melihat dalam spektrum yang lebih
luas mengenai perilaku manusia. (Herpratiwi, 2009: 42).
Melihat hal-hal yang
diusahakan oleh para pendidik humanisme, tampak bahwa pendekatan ini
mengedepankan pentingnya emosi dalam dunia pendidikan. Freudian melihat emosi
sebagai hal yang mengganggu dalam perkembangan, sementara humanisme melihat
keuntungan pendidikan emosi. Jadi bisa dikatakan bahwa emosi adalah
karakteristik yang sangat kuat yang nampak dari para pendidik beraliran
humanisme. Karena berfikir dan merasakan saling beriringan, mengabaikan
pendidikan emosi sama dengan mengabaikan salah satu potensi terbesar manusia.
Kita dapat belajar menggunakan emosi kita dan mendapat keuntungan dari
pendekatan humanisme ini sama seperti yang ingin kita dapatkan dari pendidikan
yang menitik beratkan kognitif (Herpratiwi, 2009: 42-43).
Tokoh-Tokoh Teori Belajar Humanistik
Tokoh penting dalam teori belajar humanistik secara
teoritik antara lain: Arthur W. Comb, Abraham Maslow, dan Carl Ranson Rogerss.
Teori belajar humanistik berdasarkan pendapat tokoh-tokohnya dapat dijelaskan
sebagai berikut.
1. Athur W. Combs (1912-1999)
Bersama dengan Donald
Snygg (1904-1967) mereka mencurahkan banyak perhatian pada dunia pendidikan. Meaning (makna
atau arti) adalah konsep dasar yang sering digunakan dalam teori belajar
humanistik. Dengan demikian, belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu.
Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan
kehidupan mereka. Anak tidak bisa matematika atau sejarah bukan karena bodoh
tetapi karena mereka enggan dan terpaksa dan merasa sebenarnya tidak ada alasan
penting mereka harus mempelajarinya. Perilaku buruk itu sebenarnya tak lain
hanyalah dari ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan
memberikan kepuasan baginya Konsep pendekatan humanistik dalam pendidikan
menekankan pada perkembangan positif (Herpratiwi, 2009: 45).
Untuk itu, guru harus
memahami perilaku siswa dengan mencoba memahami dunia persepsi siswa tersebut.
Sehingga, apabila ingin mengubah perilaku siswa tersebut guru harus mengubah
keyakinan atau pandangan siswa yang ada. Combs berpendapat bahwa banyak guru
membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi
pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana mestinya. Padahal makna yang
diharapkan siswa tidaklah menyatu pada materi pelajaran tersebut. Dalam hal ini
yang penting ialah bagaimana membawa persepsi siswa untuk memperoleh makna
belajar bagi pribadinya dari materi pelajaran tersebut yang menghubungkan
materi pelajaran dengan kehidupannya sehari-hari (Sukardjo dan Komarudin, 2009:
58).
Arthur W. Comb ialah
seorang humanis, ia berpendapat bahwa perilaku batiniah seperti perasaan,
persepsi, keyakinan, dan maksud menyebabkan seseorang berbeda dengan orang
lain. Untuk memahami orang lain, kita harus melihat dunia orang lain seperti ia
merasa dan berfikir tentang dirinya. Pendidikan dapat memahami perilaku peserta
didiknya jika ia mengetahui bagaimana peserta didik mempersepsikan perbuatannya
pada suatu situasi. Apa yang kelihatanya aneh bagi kita, mungkin saja tidak
aneh bagi orang lain. Dalam pembelajaran menurut para ahli psikologi
humanistis, jika peserta didik memperoleh informasi baru informasi itu
dipersonalisasikan ke dalam dirinya. Sangatlah keliru jika pendidik beranggapan
bahwa peserta didik akan mudah belajar kalau bahan ajar disusun rapi dan disampaikan
dengan baik. Karena peserta didik sendirilah yang menyerap dan mencerna
pelajaran itu. Yang menjadi masalah dalam mengajar bukanlah bagaimana bahan
ajar itu disampaikan, tetapi bagaimana membantu peserta didik memetik arti dan
makna yang terkandung di dalam bahan ajar itu. Apabila peserta didik dapat
mengaitkan bahan ajar dengan kehidupannya, pendidik boleh berbesar hati karena
misinya telah berhasil (Herpratiwi, 2009: 45).
Combs memberikan
lukisan persepsi diri dan dunia seseorang seperti dua lingkaran (besar dan
kecil) yang tertitik pusat satu. Lingkaran kecil adalah gambaran dari persepsi
diri dan lingkaran besar adalah persepsi dunia. Makin jauh peristiwa-peristiwa
itu dari persepsi diri, makin berkurang pengaruhnya terhadap perilaku. Jadi,
hal-hal yang mempunyai sedikit hubungan dengan diri, akan makin mudah hal itu
terlupakan oleh siswa (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 58).
Combs dan kawan-kawan
menyatakan bahwa apabila kita ingin memahami perilaku orang lain kita harus
memahami dunia persepsi orang itu. Apabila kita ingin mengubah keyakinan atau
pandangan orang itu, perilaku dalamlah yang membedakan seseorang dari yang
lain. Selanjutnya bahwa perilaku buruk itu sungguh tak lain hanyalah dari
ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan memberikan
kepuasan baginya. Apabila seseorang guru mengeluh apabila siswanya tidak
mempunyai motivasi untuk melakukan sesuatu yang dikehendaki oleh guru itu.
Apabila guru itu memberikan aktivitas yang lain, mungkin sesekali siswa akan
memberikan reaksi yang positif. Para ahli humanisme melihat adanya bagian dari learning,
ialah pemerolehan informasi baru dan personalisasi informasi ini pada individu.
Padahal arti tidaklah menyatu pada materi pelajarn itu, sehingga yang penting
ialah bagaimana membawa si siswa untuk memperoleh arti bagi pribadinya dari
materi pelajaran tersebut dan menghubungkan dengan kehidupannya (Herpratiwi,
2009: 46).
2. Abraham Maslow
Teori Maslow didasarkan
pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal: (1) suatu usaha yang
positif untuk berkembang dan (2) kekuatan untuk melawan atau menolak
perkembangan itu. Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dala upaya
untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat hierarkis. Pada diri setiap orang
terdapat pelbagai perasaan takut seperti rasa takut untuk berusaha atau
berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut dengan apa yang sudah ia
miliki dan sebagainya. Tetapi disisi lain, seseorang juga memiliki dorongan
untuk lebih maju kearah keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua
kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi dunia luar, dan pada saat itu
juga ia dapat menerima diri sendiri (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 58).
Maslow membagi
kebutuhan-kebutuhan (needs) manusia menjadi tujuh hierarki. Bila seseorang
telah dapat memenuhi kebutuhan pertama, seperti kebutuhan fisiologis, barulah
ia dapat menginginkan kebutuhan yang terletak di atasnya, ialah kebutuhan
mendapatkan rasa aman dan seterusnya. Hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow
ini mempunyai implikasi yang penting dan harus diperhatikan oleh guru pada
waktu mengajar. Ia mengatakan bahwa perhatian dan motivasi belajar ini mungkin
berkembang kalau kebutuhan dasar siswa belum terpenuhi (Sukardjo dan Komarudin,
2009: 59).
Adapun hierarki kebutuhan menurut Maslow sebagai
berikut.
a. Kebutuhan fisiologis/
dasar.
b. Kebutuhan akan rasa aman
dan tentram.
c. Kebutuhan untuk dicintai
dan disayangi.
d. Kebutuhan untuk dihargai.
e. Kebutuhan untuk
aktualisasi diri (Herpratiwi, 2009: 49).
Dalam artikel “some
educational implications of the Humanistic Psychologist”, Maslow mencoba
untuk mengkritik Freud dan Behavioristik. Menurut Maslow, yang terpenting dalam
melihat manusia adalah potensi yang dimiliknya. Humanistik lebih melihat pada
sisi perkembangan kepribadian manusia daripada berfokus pada “ketidaknormalan”
atau “sakit” seperti yang dilihat oleh teori psikoanalisis Freud. Pendekatan
ini melihat kejadian setelah sakit tersebut sembuh, yaitu bagaimana manusia
membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan bertindak
positif ini yang disebut sebagai potensi manusia. Para pendidika yang beraliran
humanistik biasanya memfokuskan pengajaranya pada pembangunan kemampuan positif
(Sukardjo dan Komarudin, 2009: 59).
Kemampuan positif
disini erat kaitanya dengan pengembangan emosi positif yang terdapat dalam
pengembangan emosi positif yang terdapat dalam domain efektif, misalnya
keterampilan membangun dan menjaga hubungan yang hangat dengan orang lain,
bagaimana mengajarkan kepercayaan, penerimaan, kesadaran, memahami perasaan
orang lain, kejujuran interpersonal, dan pengetahuan interpersonal lainnya.
Intinya ialah meningkatkan kualitas keterampilan interpersonal dalam kehidupan
sehari-hari (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 59).
Melihat hal-hal yang
diusahakan oleh para pendidik humanistik, tampak bahwa pendekatan ini
mengedepankan pentingnya emosi dalam dunia pendidikan. Freudian melihat emosi
sebagai hal yang mengganggu perkembangan, sementara humanistik melihat keuntungan
pendidikan emosi. Jadi, dapat dikatakan bahwa emosi adalah karakteristik yang
sangat kuat yang tampak dari para pendidik beraliran humanistik. Karena
berfikir dan merasakan saling beriringan, mengabaikan pendidikan emosi sama
dengan mengabaikan salah satu potensi terbesar manusia. Kita dapat belajar
menggunakan emosi kita dan mendapat keuntungan dari pendekatan humanistik ini
sama seperti yang kita peroleh dari pendidikan yang menitikberatkan kognisi
(Sukardjo dan Komarudin, 2009: 60).
Berbeda dengan behaviorisme
yang melihat motivasi manusia sebagai suatu usaha untuk memenuhi kebutuhan
fisiologis manusia atau dengan Freudian yang melihat motivasi sebagai berbagai
macam kebutuhan seksual, humanistik melihat perilaku manusia sebagai campuran
antara motivasi yang lebih rendah atau lebih tinggi. Hal ini memunculkan salah
satu ciri utama pendekatan humanistik, yaitu bahwa yang dilihat adalah perilaku
manusia, spesies lain. Akan sangat jelas perbedaan antara motivasi yang
dimiliki binatang. Hierarki kebutuhan motivasi Maslow menggambarkan motivasi
manusia lain, berkompetensi, dikenali, aktualisasi diri sekaligus juga
menggambarkan motivasi dalam tingkat yang lebih rendah, seperti kebutuhan
fisiologis dan keamanan (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 60).
3. Carl Ransom Rogerss
(1902-1987)
Carl Ramson Rogerss
lahir di Oak Park, Llinois pada tanggal 8 Januari 1902 di sebuah keluarga
protestan yang fundamentalis. Kepindahan dari kota ke daerah pertanian di
usianya ke-12, membuat ia senang akan ilmu pertanian. Ia pun belajar pertanian
di Universitas Wisconsin. Setelah lulus tahun 1924, ia masuk ke Union Theologi
Seminary di Big Apple dan selama masa studinya ia juga menjadi seorang pastor
di sebuah gereja kecil. Meskipun belajar seminari, ia malah ikut kuliah di Teacher
Collage yang bertetangga dengan seminarinya (Herpratiwi, 2009: 48).
Tahun 1927, Rogerss
bekerja di Institute For Child Guindance dan menggunakan
psikonalisa Freud dalam terapinya meskipun ia sendiri tidak menyetujui teori
Freud. Pada masa ini, Rogerss juga banyak dipengaruhi oleh Otto Rank dan Jhon
Dewey yang memperkenalkan terapi klinis. Perbedaan teori yang didapatkan justru
membuatnya menemukan benang merah yang kemudian dikembangkan dan dipakai untuk
mengembangkan teorinya kelak (Herpratiwi, 2009: 49).
Pada tahun 1931,
Rogerss bekerja di Child Study Departement of The Society For The
Prevention of Cruelty to Children (bagian studi tentang anak pada
perhimpunan pencegahan kekerasan terhadap anak) di Rochester, NY. Pada
masa-masa berikutnya ia sibuk membantu anak-anak bermasalah/ nakal dengan
menggunakan metode-metode psikologi. Pada tahun 1939, ia menerbitkan satu
tulisan berjudul The Clincai Treatment Of The Problem Child”, yang
membuatnya mendapatkan tawaran sebagai profesor pada fakultas psikologi di Ohio
State University dan pada tahun 1942. Rogerss menjabat sebagai ketua
dari American Psychological Society (Herpratiwi, 2009: 49).
Tahun 1957, Rogerss
pindah ke Universitas Wisconsin untuk mengembangkan idenya tentang psikitari.
Setelah mendapat gelar doktor, Rogerss menjadi profesor psikologi di
Universitas Negeri Ohio. Kepindahan dari lingkungan klinis ke lingkungan
akademik membuat Rogerss mengembangkan metode client-contered
psycotherapy. Disini dia lebih senang menggunakan istilah siswa terhadap
orang yang berkonsultasi dibandingkan memakai istilah pasien (Herpratiwi, 2009:
49).
Rogerss ialah seorang
psikolog humanistik yang menekankan perlunya sikap saling menghargai dan tanpa
prasangka (antara klien dan terapisit) dalam membantu individu mengatasi
masalah-masalah kehidupannya. Rogerss meyakini bahwa klien sebenarnya memiliki
jawaban atas permasalahan yang dihadapinya dan tugas terapis hanya membimbing
klien menemukan jawaban yang benar. Menurut Rogerss, teknik-teknik assesment dan
pendapat para terapis bukanlah hal yang penting dalam melakukan treatment kepada
klien (Herpratiwi, 2009: 49).
Kecewa karena tidak
bisa menyatukan psikiatri dengan psikolog. Rogerss pindah ke California pada
tahun 1964 dan bergabung dengan western behavioral science institute.
Ia lalu mengembangkan teorinya dibidang pendidikan. Selain itu ia banyak
memberikan workshop di Hongaria, Brazil, Afrika Selatan, dan bahkan Uni Soviet.
Rogerss wafat pada tanggal 4 Februari 1987. Meskipun teori yang dikemukakan
oleh Rogerss ialah salah satu teori humanistik, namun keunikan teori pada sifat
humanis yang terkandung di dalamnya (Herpratiwi, 2009: 50).
Rogerss membedakan dua
tipe belajar, yaitu kognitif (kebermaknaan) danexperiental (pengalaman
atau signifikan). Guru menghubungkan pengetahuan akademik ke dalam pengetahuan
terpakai, seperti mempelajari mesin dengan tujuan untuk memperbaiki mobil. Experiental
learning menunjuk pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan siswa.
Kualitas belajar experiental learning mencakup; keterlibatan
siswa secara personal, berinisiatif, evaluasi oleh siswa sendiri,
dan adanya efek yang membekas pada siswa. Menurut Rogerss, yang terpenting
dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru memperhatikan prinsip
pendidikan dan pembelajaran, sebagai berikut.
a. Menjadi manusia berarti
memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar. Siswa tidak harus belajar tentang
hal-hal yang tidak ada artinya.
b. Siswa akan mempelajari
hal-hal yang bermakna bagi dirinya. Pengorganisasian bahan pelajaran berarti
mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.
c. Pengorganisasian bahan
pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang
bermakna bagi siswa.
d. Belajar yang bermakna dalam
masyarakat modern belajar tentang proses (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 61).
Asumsi teori Rogerss sebagai berikut.
1. Kecenderungan formatif
Segala hal di dunia baik organik maupun non-organik
tersusun dari hal-hal yang lebih kecil.
2. Kecenderungan aktualisasi
Kecenderungan setiap
makhluk hidup untuk bergerak menuju kesempurnaan atau pemenuhan potensi
dirinya. Tiap individual mempunyai kekuatan yang kreatif untuk menyelesaikan
masalahnya (Herpratiwi, 2009: 50).
Menurut teori di atas,
tujuan belajar ialah untuk memanusiakan manusia. Prose belajar dianggap
berhasil jika si pelajar telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri.
Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai
aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami
perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan sudut pandang pengamatnya
(Herpratiwi, 2009: 50).
Dari bukunya freedom to learn, ia
menunjukan sejumlah prinsip-prinsip dasar humanistik yang penting diantaranya
sebagai berikut.
1. Mannusia
mempunyai kemampuan belajar secara alami.
2. Belajar
yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid mempunyai
relevansi dengan maksud-maksudnya sendiri.
3. Belajar
yang menyangkur perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri dianggap
mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.
4. Tugas-tugas
belajar yang mengancam diri lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan apabika
ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil.
5. Apabila
ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai
cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar.
6. Belajar
yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.
7. Belajar
diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam prose belajar dan ikut bertanggung
jawab terhadap proses belajar itu.
8. Belajar
atas inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan
maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan
lestari.
9. Kepercayaan
terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas lebih mudah divapai terutama
jika siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengkritik dirinya sendiri.
Penilaian dari orang lain merupakan cara kedua yang penting.
10. Belajar yang paling
berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah belajar mengenai proses
belajar, suatu keterbukaan yang terus-menerus terhadap pengalaman dan
penyatuannya ke dalam diri sendiri mengenai proses perubahan itu (Sukardjo dan
Komarudin, 2009: 61-62).
Siswa berperan sebagai pelaku utama (student
center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan
siswa memahami potensi diri, mengembangkan potensi dirinya secara positif dan
meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif. Tujuan pembelajaran lebih
kepada pproses belajarnya daripada hasil belajar. Adapun proses yang umumnya
dilalui sebagai berikut.
a. Merumuskan tujuan belajar
yang jelas.
b. Mengusahakan partisipasi
siswa melalui kontrak belajar yang bersifat jelas, jujur, dan positif.
c. Mendorong siswa untuk
mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar atas inisiatif sendiri.
d. Mendorong siswa untuk peka
berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara mandiri.
e. Siswa didorong untuk bebas
mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukan apa yang
diinginkan dan menanggung resiko dari pelaku yang ditunjukan.
f. Guru menerima siswa
apa adanya, berusaha memahami jalan pikiran siswa, tidak menilai secara
normatif tetapi mendorong siswa untuk bertanggung jawab atas segala
resiko perbuatan atau proses belajarnya.
g. Memberikan kesempatan
murid untuk maju sesuai dengan kecepatannya.
h. Evaluasi diberikan secara
individual berdasarkan perolehan prestasi belajar siswa (Herpratiwi, 2009: 52).
Salah satu model pendidikan terbuka mencakup konsep
mengajar guru yang fasilitatif yang dikembangkan Rogerss, diteliti oleh Aspy
dan Roebuck pada tahun 1975. Model ini mengenai kemampuan para guru untuk
menciptakan kondisi yang mendukung, yaitu empati, penghargaan, dan umpan balik
positif. Ciri-ciri guru yang fasilitatif sebagai berikut.
1. Merespons perasaan siswa.
2. Menggunakan ide-ide
siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang.
3. Berdialog dan berdiskusi
dengan siswa.
4. Menghargai siswa.
5. Kesesuaian antara perilaku
dan perbuatan.
6. Menyesuaikan isi kerangka
berfikir siswa (penjelasan untuk memantapkan kebutuhan segera dari siswa).
7. Tersenyum pada siswa
(Sukardjo dan Komarudin, 2009: 62-63).
Berdasarkan pendapat di
atas, diketahui bahwa guru yang fasilitatif mampu mengurangi angka membolos,
meningkatkan angka konsep diri, meningkatkan upaya untuk meraih prestasi
akademik termasuk pelajaran bahasa dan matematika yang kurang disukai,
mengurangi tingkat masalah yang berkaitan dengan disiplin, mengurangi perusakan
pada peralatan sekolah, serta menjadikan siswa lebih spontan dan menggunakan
tingkat berfikir yang lebih tinggi (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 63).
Teori Rogerss dalam
bidang-bidang pendidikan dibutuhkan 3 (tiga) sikap oleh fasilitator belajar,
yaitu: (1) realitas di dalam fasilitator belajar, (2) penghargaan, penerimaan
dan kepercayaan, dan (3) pengertian empati. Dari ketiga sikap tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut.
1. Realitas di dalam
fasilitator belajar
Merupakan sikap dasar yang penting. Seorang
fasilitator menjadi dirinya sendiri dan tidak menyangkal diri sendiri. Sehingga
ia dapat masuk ke dalam hubungan dengan pelajar tanpa ada sesuatu yang
ditutup-tutupi.
2. Penghargaan, penerimaan,
dan kepercayaan
Menghargai pendapat, perasaan, dan sebagainya membuat
timbulnya penerimaan akan satu dengan lainnya. Dengan adanya penerimaan
tersebutm maka akan muncul kepercayaan akan satu dengan yang lainnya.
3. Pengertian yang empati
Untuk mempertahankan
iklim belajar atas dasar inisiatif diri, maka guru harus memiliki pengertian
yang empati akan reaksi murid dari dalam. Guru harus memiliki kesadaran yang
senditif bagi jalanya proses pendidikan dengan tidak menilai atau mengevaluasi.
Pengertian akan materi pendidikan dipandang dari sudut murid bukan guru
(Herpratiwi, 2009: 53).
Kesimpulan Teori Humanisme Carl Rogerss ialah
sebagai berikut.
1. Teori Rogerss disebut
humanis karena teori ini dipercaya bahwa setiap individu adalah positif, serta
menolak teori Freud dan behaviorisme.
2. Asumsi dasar teori Rogerss
ialah kecenderungan formatif dan kecenderungan aktualisasi.
3. Diri (self)
terbentuk dari pengalaman mulai dari bayi, dimana penghargaan positif (positive
regard) dan penghargaan diri yang positif (positive self regard).
4. Stagnasi psikis terjadi bila
pengalaman dan konsep diri yang tidak konsisten, untuk menghindarinya adalah
pertahanan distorasi dan penyangkalan. Jika gagal dalam menerapkan pertahanan
tersebut konsep diri akan hancur dan menyebabkan psikotik.
5. Dalam terapi, terapi hanya
menolong dan mengarahkan siswa yang melakukan perubahan adalah siswa itu
sendiri (Herpratiwi, 2009: 52).
Di bawah ini akan dijelaskan kelebihan dan kelamahan
teori belajar humanistik, sebagai berikut.
KELEBIHAN
DAN KEKURANGAN TEORI BELAJAR HUMANISTIK
Di bawah ini akan dijelaskan kelebihan dan kelamahan
teori belajar humanistik, sebagai berikut.
1. KELEBIHAN
a. Pembelajaran
dengan teori ini sangat cocok diterapkan untuk materi-materi pembelajaran yang
bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis
terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini ialah siswa
merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola
pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. Siswa diharapkan menjadi
manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur
pribadinya sendiri secara tanggung jawab tanpa mengurangi hak-hak orang-orang
lain atau melanggar aturan, norma, disiplin, atau etika yang berlaku
(Herpratiwi, 2009: 56)
b. Teori ini cocok untuk
diterapkan dalam materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian,
hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial.
c. Indikator dari keberhasilan
aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar
dan terjadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri.
d. Siswa diharapkan menjadi
manusia yang bebas, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur
pribadinya sendiri secara bertanggung jawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain
atau melanggar aturan, norma, disiplin atau etika yang berlaku.
2. KEKURANGAN
a. Siswa yang tidak mau
memahami potensi dirinya akan ketinggalan dalam proses belajar.
b. Siswa yang tidak aktif dan
malas belajar akan merugikan diri sendiri dalam proses belajar.
c. Karena dalam teori ini guru ialah sebagai
fasilitator maka kurang cocok menerapkan yang pola pikirnya kurang aktif atau
pasif. Karena bagi siswa yang kurnag aktif, dia akan takut atau malu untuk
bertanya pada gurunya sehingga dia akan tertinggal oleh teman-temannya yang
aktif dalam kegiatan pembelajaran, padahal dlaam teori ini guru akan memberikan
respons bila murid yang diajar juga aktif dalam menanggapi respons yang
diberikan oleh guru. Karena siswa berperan sebagai pelaku utama (student center) maka keberhasilan proses belajar lebih banyak
ditentukan oleh siswa itu sendiri, peran guru dalam proses pembentukan dan
pendewasaan kepribadian siswa menjadi berkurang (Hepratiwi, 2009: 56).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar